Senin, 12 Desember 2011

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi


Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi

A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
  1. Faktor predisposisi.
    Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
    • Faktor Perkembangan
      Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
    • Faktor Sosiokultural
      Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
      Faktor Biokimia
      Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
    • Faktor Psikologis
      Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
    • Faktor genetik
      Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
  2. Faktor Presipitasi
    Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman / tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
  3. Perilaku
    Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
    • Dimensi Fisik
      Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
    • Dimensi Emosional
      Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
    • Dimensi Intelektual
      Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
    • Dimensi Sosial
      Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
    • Dimensi Spiritual
      Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
  4. Sumber Koping
    Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
  5. Mekanisme Koping
    Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
  1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.
  2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
  3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
C. Intervensi
Diagnoasa 1.:
Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
  2. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan
  3. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
  • Bina Hubungan saling percaya
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
  • Dengarkan ungkapan klien dengan empati
  • Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
  • Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
  • Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
  • Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
  • Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien.
  • Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
  • Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
  • Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
  • Bantu klien menggunakan obat secara benar.
Diagnosa 2.:
Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
  2. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
  3. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
  4. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
  5. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan keluarga
Intervensi :
  • Bina hubungan saling percaya.
  • Buat kontrak dengan klien.
  • Lakukan perkenalan.
  • Panggil nama kesukaan.
  • Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
  • Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
    serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.
  • Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi penyebab.
  • Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
  • Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
  • Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap yang ditentukan.
  • Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
  • Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.
  • Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
  • Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
  • Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.
  • Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
  • Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan car a keluarga menghadapi.
  • Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
  • Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok pasien minimal sekali seminggu.
Diagnosa 3.:
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
  2. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
  3. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri
  4. pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya
  5. Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan
    Intervensi :
    • Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi fisik.
    • Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
    • Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.
    • Berikan pujian.
    • Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
    • Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
    • Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
    • Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap stressor.
    • Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan perilakunya.
    • Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
    • Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
    • Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
    • Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
    • Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
    • Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya bukan orang lain
    • Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan perawat).
    • Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
    • Bantu pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
    • Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada dirinya.


DAFTAR PUSTAKA
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa. Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa, , 2000
Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa, EGC, 1995
Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC, 1987
Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, 1990
Rasmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, CV.
Sagung Seto, , 2001.
Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997
Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC, 1998
<p>Your browser does not support iframes.</p>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar